Selasa, 31 Agustus 2010

Renungan, “Antara hati yang mati dan hati yang membatu” . .


Pertemuan dengan ajal, sering dianggap sekedar kata perpisahan dari nyawa kepada jasadnya, diiringi lenyapnya gugusan momen yang pernah diukir seseorang dalam geliat hidupnya, padahal, kematian bukan sekedar titik henti gerak jiwa raga seseorang, sebab, diatas kematian tadi ada ajal yang lebih peri akibatnya, dan lebih luas cengkeramannya, itulah kematian hati : segupal daging yang mejadi panglima bagi setiap manusia.


Sayang, kematian hatijarang dirisaukan seseorang, karena memang tak satupun organ tubuh penderitanya yang berkurang atau mengkerut. Ajalnya hati hanya bisa dirasakan oleh orang yang berinteraksi dengannya, ketika kepedulian seseorang kepada nilai kebenaran mengalami degradasi dan tiba saatnya anjlog ke titik nadir, jangankan mengorbankan nyawa untuk menegakkan kebenaran, berkelebat dalam pikiran pun tidak.

Rontoknya rasa peduli tentu tak mendadak, “setan telah menyesatkan kebanyakan dari mereka, dengan menyilaukan kenikmatan duniawi semata”. Pada fase ini, seseoarang telah memilih aturan hukum agar pas dibadan. Kematian hati diawali dengan gejala pengerasan alias membatu, pencetusnya 4 sikap berlebihan yang asalnya dibolehkan, yakni, makan berlebihan, tidur berlebihan, dan berbicara berlebihan, karena dampak ikuta sikap overdosis ini akan membuat penderitanya melekat erat kepada urusan duniawi, sebab, cinta kepada sang maha pencipta dan cinta kepada dunia seperti timbangan, turun naik tergantung berat salah satunya.

Seorang yang percaya kepada Tuhan,tentu akan berusaha semaksimal mungkin mencegah penyakit ini, cukuplah menjadi pelajaran ikhwal seorang pemain catur menghadapi detik-detik akhir hidupnya, disaat kerabat menuntunnya kepada kalimat tauhid, Laa ilaaha illallah, maka ia dengan lantang berucap : “skak” !!!