Ketika raja-raja jawa dan asia pada umumnya masih menganggap dirinya titisan dewa yang turun dimarcapada, inggris dan spanyol telah mengirimkan kapal-kapal dan armadanya melakukan ekspedisi ke berbagai penjuru dunia, menaklukkan dan selanjutnya menjajah negeri-negeri yang didarati, ketika raja jhon mengesahkan magna carta sebagai undang-undang yang mengakui hak-hak rakyat dan bangsawan tingkat bawah yang harus ia hormati tahun 1215, jawa sedang diperintah oleh tunggul ametung yang sebentar lagi akan digantikan ken arok, bahkan ketika raja Edward tahun 1295 memperbaiki system parlemen inggris, jawa dalam masa transisi kekuasaan dari kartanegara di singasari pada raden wijaya di majapahit, barat tampak lebih dahulu mencatat “kebaikan” dalam sejarah ketimbang orang-orang timur.
Kenyataan itu pula yang membuat barat merasa unggul dari timur, timur telah ditaklukkan, tak hanya itu, timur bahkan merasa lebih rendah, tak berdaya tak beradab, dan menganggap agung para peranggi. Lalu terbitlah era baru bernama demokrasi, sebuah tatanan hidup, yang konon menjamin hak-hak hidup ras manusia, berbondong-bondong, umat manusia menghadapkan wajahnya pada kiblat demokrasi, lalu yang terjadi adalah, vox pupili, vox dei, “suara rakyat, suara Tuhan”. Nilai-nilai kebenaran dilebur dan bisa dikalahkan dengan jumlah, intinya survival of the fittes, siapa yang paling kuat, dia yang bertahan, baik, buruk, menjadi tak relevan untuk dibicarakan.
Sebenarnya kita pada fase keterjajahan yang lain, dijajah oleh demokrasi itu sendiri. Siapapun, nilai hidup apapun tak sesuai dengan tatanan demokrasi, berhukum batal. “with us or against us” begitu presiden Amerika, George w.bush mendeklarasikan prinsip demokrasi Amerika, sebuah Negara yang dijadikan oleh seluruh penduduk dunia untuk berkiblat menjalankan hidupnya.
Barat bukan saja Negara, tapi gaya hidup dan peradaban manusia, semua tanah telah menjadi barat, semua uokum berkiblat kesana, semua cita berarah kesana, begitu juga politik yang sedang kita jalani sekarang.
Kini kita diambang sebuah puncak lain demiokrasi, memilih penghulu negeri, memilih pemimpin, yang minimal akan menjadi imam Negara selama lima tahun kedepan, tapi apa jaminan yang diberikan demokrasi tentang sosok-sosok yang bertarung dalam kontes memperkenalkan diri sendiri itu? Tak ada
Khalifah umar pernah diingatkan oleh seorang perempuan yang mengacungkan pedang, dan umar berkata, “ikutilah umar jika ia benar. Jika tidak, maka tinggalkanlah!, dan demokrasi tak pernah, dan tak akan pernah memberi jaminan seperti yang telah diterapkan islam dalam pemerintahan umar kala itu.
Bisa jadi, demokrasi memiliki ribuan celah yang dimanfaatkan menjalankan nilai-nilai islam, tapi perlu pula dibangun kesadaran, demokrasi bukan segalanya, dan hanya titik dari sebuah lukisan bernama kehidupan. Dan muslim, telah punya kiblat kehidupannya sendiri, yang lebih kuat, lebih luas dan tentu lebih baik. .
Herry Nurdy
Sabili No.24 TH.XI 18 juni 2004/29 rabiul akhir 1425